Jumaat, 28 Jun 2013

PENERAPAN UNSUR KEINDAHAN TUTUR BUDAYA DALAM MANTERA MELAYU

Kertas Kerja Sempena Dialog Borneo-Kalimantan Ke XI 2013
Oleh:
Oleh: Hj.Jawawi Hj.Ahmad (HJR).

Bismillahir rahman nirahim
pembuka kata pembuka gerak
pembuka segala kunci
pembuka segala rezeki
gerak ke kiri gerak ke kanan
gerak ke depan gerak ke belakang
gerak Melayu, gerak pendekar
gerak pendekar, gerak penawar
gerak di dalam gerak
gerak di dalam, gerak di luar
gerak bunga,gerak nadi,gerak tari
gerak segala gerak,gerak penjaga gerak
gerak siang, gerak malam
gerak malam ke siang, gerak siang ke malam
terlindung terikat, terkunci dalam kunci.

Sebagai sebuah bangsa serumpun, dan sebagai tanda setiakawan persaudaraan dan berjiran, apatah lagi kita adalah berasal dari rumpun yang sama, maka ada baiknya saya melihat sekilas pandang mengenai kata-kata yang digunakan dalam merantang tutur budaya ilmu yang saya rasa sesuatu yang juga perlu diketengahkan kepada generasi baru yang tidak mengetahui bahawa suatu ketika dulu seperti ilmu pengasih, ilmu pemugai dan seumpamanya adalah sebagai senjata lidah dan tutur budaya sebilangan masyarakat kita untuk mendapatkan sesuatu yang mereka hajati.

Dalam masyarakat Melayu, tutur budaya adalah merupakan satu bidang kesenian, manakala kesenian itu pula adalah sebahagian daripada kebudayaan. Maka melalui tutur budaya inilah akan terpancar gambaran keadaan atau corak kebudayaan Melayu. Maksudnya daripada tutur budaya itu, kita dapat melihat cara hidup, fikiran, sikap dan peradapan bangsa Melayu. Dalam masyarakat Melayu tradisional, tutur budaya sering digambarkan melalui dalam bentuk puisi, seperti pantun, syair, seloka, gurindam, mantera dan sajak. Kerana sikap bangsa Melayu yang begitu sensitif terhadap apa yang ada di sekeliling mereka terutama peristiwa yang boleh memberikan kesan yang kuat dalam diri mereka, lalu mereka gambarkan melalui peciptaan dalam kesusasteraan sama ada cara prosa atau puisi.

Dalam beberapa bentuk genere sastera tradisional ini, mantera adalah salah satu daripada yang berfungsi untuk mempengaruhi masyarakat yang ada, kerana mantera yang sering wujud dalam perasaan dan praksangka masyarakat itu sendiri. Mantera mengikut pandangan orang tua-tua dahulu adalah merupakan satu cara kehidupan untuk kepentingan diri sendiri demi untuk mencapai hasrat untuk memiliki, disukai dan adakalanya untuk perkara-perkara yang tidak diingini. Mantera mengikut kamus Bahasa Melayu Nusantara bermakna: kata-kata atau ayat yang apabila diucapkan dapat mendatangkan atau menimbulkan kuasa ghaib. Dan memberi makna susunan kata berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandungi kekuatan ghaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan ghaib yang lain. Maka dengan adanya tutur budaya yang serupa di antara masyarakat di nusantara ini, akan terserlahlah lagi perpaduan dalam menyatukan bangsa yang ada di muka bumi ini khususnya di Alam Melayu dan Nusantara. Dalam konteks ini tidaklah ada nanti yang akan mendabik dada bahawa mereka adalah besar dan lebih daripada bangsa yang lainnya.

Walau bagaimanapun, komunikasi yang meluas dalam masyarakat global yang ingin nemproses dunia menjadi lebih kecil pasti mendatangkan akibat lain. Sebabnya apabila kita ingin untuk menjadikan globalisasi itu sesuatu yang menyangkut dalam kehidupan kita, maka tidaklah ada nanti kelompok manusia yang memencilkan dirinya. Kerana dalam kehidupan negara yang berbilang kaum ini, setiap individu hendaklah yakin betapa mustahaknya mereka memiliki sesuatu yang bersifat kebangsaan untuk dijadikan sebagai teras pembangunan negara bangsa dan mereka hendaklah juga menjiwai bersama adat mejoriti bangsa yang ada berlandaskan keharmonian dan kesetiaan.

Untuk menjadikan masyarakat global ke arah yang lebih terarah kehidupannya, maka kita sebagai sebuah bangsa, tidak kira bangsa Brunei, Malaysia atau Indonesia harus bangkit memajukan diri kita iaitu memperbaiki dan mengisi ketertinggalan kita, kita mesti bergerak mempertahankan tutur budaya kita dengan derap langkah yang nyata, supaya kita dapat bertahan sebagai sebuah negara bangsa yang dipandang dan dihormati di arena antarabangsa.

Sebagai masyarakat yang hidup dalam dunia Melayu, kita tidak dapat melarikan diri daripada budaya hidup dikandung adat dan mati dikandung tanah. Tutur budaya dalam masyarakat kita mempunyai fungsi yang besar dalam kehidupan kita sehari-hari, melalui tutur budaya yang kita
warisi ini juga boleh membantu kita mengwujudkan pendidikan moral yang tinggi di samping mengawal kebudayaan bangsa.

Dalam konteks puitisnya tutur budaya kita ini, ia adalah merupakan ilmu yang berkaitan dengan ilmu dalam diri, walaupun adakalanya kita tidak tahu makna perkataan yang dirantang, namun ia tetap merupakan sesuatu yang praktikal dalam rantangan ilmu tersebut, seperti ilmu pengasih, pemugai, mengukur senjata, menimbulkan buaya, memakai songkok dan seumpamanya, adalah sesuatu yang amat menarik untuk diketahui sebagai pengetahuan cara kehidupan sebilangan masyarakat Melayu zaman dahulu yang mengamalkan ilmu seumpama ini, malah mungkin ada yang mengamalkan sehingga sekarang. Ilmu seumpama ini sering juga menyebut nama Allah, atau di akhir kata-kata menyebut berkat lailahaillallah, Muhammad rasulullah.

Dalam Surah Ali’imran, ayat 14, juz 3, adalah ayat untuk kita mencari jodoh. Caranya ialah dengan cara membaca ayat ini: Zuyyina linnaasi hubbusy syahawaati minan nisaa-i wal baniina wal qanaathiiril muqantharati minadzdzahabi walfidh-dhati wal khailil musawwamati wal an ’aami wal hartsi dzaalika mataa‘ul hayaatid dunyaa wal laahu ‘indahuu husnul ma-aab. Maknanya: (Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternakan dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik).
Selesai membaca ayat ini, tiupkan ke tapak tangan tiga kali, sambil membayangkan wajah orang yang dihajati, kemudian sapukan ke muka, insya-Allah, dengan izin Allah dan atas keyakinan kita, orang tersebut akan merindui kita. Wallahu’alam.

Di bawah ini diperturunkan serba sedikit mantera tutur budaya kita sekadar contoh untuk diketahui bersama:
ILMU MIMPI:
Rusa rusi,
zat Allah ta’ala
bukan aku mengerakkan
cupak gading jana
nama istanamu
eh! rohani jangan engkau bersanang fikir
aku tau asal mulamu jadi
(si anu binti/bin si anu)
mani setitik darah sekumpal
sewujud dengan dikau
--------
--------
--------
terbuka pintu ketujuh.
MEMAKAI SONGKOK:
Hai! nur kasihku
nur cahaya Muammad
dipandang segalanya manis
manis madu selautan
manis lagi paras wajahku
gagah harimau di hutan
gagah lagi tubuh badanku
berkat lailahaillah
Muhammad rasullah.
PENGASIH:
Ya...rohmu
yang sidi yang sakti
mulih kadiaku
asalmu aku
aku tahu asal mulamu
berasal tanah sekumpal
setitik air basah rohmu
bergerak jangan bepaluh jangan
minta-minta hatimu
(si anu anak si anu)
rindu dendam pada wajahku
berkat...
PIKASIH SEKAMPUNG:
Kutiupkan pikasih sekampung
kusandang bunga si rawa-rawa
bila ditilik hati biskita kasih
bila ditantang tertawa-tawa
berkat sibur kasih
menikam sakti di hujung lidah
berkat aku memakai pikasih sekampung
semua tunduk kasih sayang padaku
berkat...
MENGUKUR SENJATA:
Berajung
berkapal
bersampan
inda bertali
berbaju
bertampal
inda makan sekali-kali.
MEMINDAH HUJAN:
Di sini kepala kerapu
di sana kepala beruang
di sini bagai di sapu
di sana bagai di tuang.
MELEMBUTKAN HATI ORANG:
Hei, maktar...diam!
terlatak engkau di dalam alam nak’furah.
(tiupkan ke muka orang yang marah,
eloknya di bawah angin).
CAHAYA MUKA:
Bismillahir rahmanir rahim
hidupku hidup Allah
jasadku jasad Muhammad
rupaku cahaya
kulitku birahi
berkat...
KELAMBU TIDUR/SELIMUT TIDUR
Bismillahir rahmanir rahim
ya raabi, ya tuhanku
ya saidi, ya maulai
lindungi hamba-Mu, lepaskan daripada bala-Mu
tolakkan daripada bahaya-Mu, dengan syafaat rasullah,
kun kata Allah, payakun kata Muhammad, rabikun kata zabaril,
panabillah, halifullah, hayakun, payakun,azaraha, majaruhu,
munifihi mahkota balan, aiwallan, innallah na’ala kulissaheeinkadir,
tawakallazi layamut.
kuserahkan diriku kepada tuhanku yang hidup tiada mati,
untung baik daripada Allah, untung jahat daripada Allah,
kata Allah mati, kata Muhammad tiada mati sekali-kali dengan izin Allah ta’ala,
memutukan sekalian sator, patah padang tiada dapat dipijar, patah besi dapat dipijar, insya-Allah ta’ala. salasah, selisih, salamun, kaulan, mirrabbihim,
hak kata Adam, hak kata Muhammad, hak kata Allah, Jallilullah, Jamillullah,
dikata mati tiada mati, barang yang bernyawa tiada berhawa kepadaku,
hanya yang lebih nyawa Allah ta’ala menjadikan sekalian alam.
Berkat laillahaillallah, berkat Muhammad rasullah.
KATA MUSA:
(waktu kedatangan kepumpungan)
Bismillahir rahmanir rahim.
Musakallamullah kupandang pintu langit, Kun terbuka aku tiada dilawan sekalian bernyawa, berkatku memakai kata nyawa, kayu dan batu serta dengan hukum Allah. SUNYI...ALLAH.
BALIK SUMPAH:
Summunbukmun Aumyumpahum LAYARGIUN
Summunbukmun Aumyumpahum LAYAKLAMUN
SummunbukmunAumyumpahum LAYUPBASSIRUN
Summunbukmun Aumyumpahum LAYAKKILLUN
Summunbukmun Aumyumpahum LAYATAKALAMUN
______________________
______________________
______________________
terbang ke laut patah pinggangmu,
terbang ke darat patah kakimu,
LANGGAH ke atas mutah darah,
kau tunduk mutah nanah tabalak, tabalik
jika iblis tabalak kepada iblis
jika syaitan tabalak kepada syaitan
jika hantu tabalak kepada hantu
jika manusia tabalak ke manusia, tabalak ke manusia.
__________________________
___________________________
___________________________
___________________________
___________________________
Demikianlah betapa puitisnya tutur budaya yang digunakan oleh masyarakat kita dalam merantang ilmu yang dimiliki, walaupun pendidikan mereka hanya berguru dengan alam dan pergaulan kehidupan seharian, tetapi keyakinan dalam diri atas usaha yang mereka buat menjadikan segalanya jadi suatu kenyataan dan realiti dalam kehidupan. Tidak juga kita nafikan, kesan pendidikan daripada kitab suci al-Quran, menjadikan masyarakat kita suatu ketika dulu memperolehi ilmu melalui makna yang ditafsirkan oleh para mualim dan pendakwah. Tercetusnya kata-kata mantera tersebut ialah kerana keadaan kehidupan masyarakat kita zaman tersebut merupakan masyarakat yang kuat dengan adat susila, pemalu, suka berkias ibarat, tidak berani berterus terang dan seumpamanya. Walau bagaimanapun peranan bomoh di zaman itu adalah merupakan kunci utama kepercayaan masyarakat untuk menerima rawatan dan perubatan, rata-rata bomoh ini memperolehi ilmu tersebut melalui mimpi yang diturunkan kepada mereka, selain ilmu yang diwarisi turun-temurun.

Kesimpulannya, sebagai sebuah negara bangsa Melayu yang berasal dari satu rumpun yang sama di Alam Melayu ini, kita tidak dapat nafikan bahawa angin perubahan lambat laun akan bertiup juga dalam kita menghadapi kehidupan dunia tanpa sempadan ini, khususnya kehidupan generasi muda di zaman serba mencabar ini. Tetapi kita tetap berkeyakinan bersama iaitu sebagai bangsa Melayu yang dibesarkan oleh adat istiadat Melayu dan tutur budaya bangsa dan bahasa Melayu, tetap akan sama berwaspada dan bertanggungjawab untuk mempertahankan peribadi bangsa dan jati bangsa kita yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam yang maha suci.

Betapapun besarnya dosa anak Melayu itu jangan dibunuh, kecuali jika ia derhaka. Kerana bumi dan tanah ini adalah dirinya, yang lahir dan mati di atasnya

RUJUKAN:
Haji Jawawi Haji Ahmad, Keindahan dan Keunikan ‘Bahasa Beradat’ Sebagai Khazanah Sastera di Brunei Darussalam: Sepintas Lalu, Kertas Kerja Seminar Kesusasteraan Brunei anjuran ASTERAWANI dengan kerjasama Pusat Kajian Brunei, Universiti Sumatera Utara, Medan, Indonesia, 26-28 Sept. 2001.

_____________________Kumpulan Kertas Kerja ‘ Ragam Bicara ’ terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam.

Pehin Siraja Khatib Dato Paduka Seri Setia Ustaz Awang Haji Yahya bin Haji Ibrahim, ‘ Menghadapi Kurun Kedua Puluh Satu’ Tinggal Landas Ke Abad 21, DBP Brunei, 1994.

Dr. Haji Hashim bin Haji Abd. Hamid, ‘ Kebudayaan Brunei: Antara Identiti dan Pembinaan Bangsa’, Cerocok Budaya Brunei, Akademi Pengajian Brunei, Universiti Brunei Darussalam, 1999.

Dr. Haji Hashim bin Haji Abd. Hamid, Sastera Tradisional Brunei, Buku Riak Sastera Darussalam, 1994.

Asmira Suhadis, Muka Buku (FB).

Perbualan Lisan dengan Yang Mulia Haji Kamaluddin bin Haji Momin, Perumahan Negara Kampong Lambak Kanan, Berakas, Brunei Darussalam.

Perbualan Lisan dengan Yang Mulia Haji Bagol bin Haji Momin, Jalan Gadong, Brunei Darussalam.

Perbualan Lisan dengan Allahyarham Pak Rivai, Pontianak, Indonesia.




Tiada ulasan:

PERWILA

Persatuan Penulis Wilayah Persekutuan Labuan (PERWILA) ditubuhkan pada 18 Mei 1985. Persatuan ini dianggotai oleh budayawan, penulis, peminat sastera dan bahasa yang bermastautin di wilayah ini.

Yuran seumur hidup hanya RM50.00 dan pendaftaran RM2.00 sahaja. Keahlian masih terbuka, sila hubungi AJK PERWILA